JAKARTA – Wacana panas kembali mencuat ke panggung politik nasional: pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Gagasan ini dihembuskan oleh Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dalam peringatan Harlah PKB ke-27, dan langsung mengguncang perdebatan lintas fraksi di DPR RI.
Dalam usulannya, Cak Imin menawarkan dua skema: gubernur dipilih pemerintah pusat, sementara bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD kabupaten/kota. Argumennya? Pilkada langsung terlalu mahal dan penuh praktik money politics.
“Harus dicari titik tengah antara kehendak rakyat dan efektivitas pemerintahan. Pilkada langsung mahal,” ujar Muhaimin, yang kini menjabat Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat, di JCC Senayan, Rabu (23/7/2025).
🔍 Sikap Fraksi di DPR
Sejumlah fraksi merespons wacana ini dengan beragam pandangan:
-
Partai Demokrat, lewat Herman Khaeron dan Dede Yusuf, menyatakan bahwa keputusan harus merujuk pada aspirasi rakyat, dan bahwa penunjukan kepala daerah oleh DPRD bisa menimbulkan masalah legitimasi.
-
Gerindra, lewat Bahtra Banong, terbuka pada ide tersebut. Mereka menganggap pilkada langsung memang boros dan perlu efisiensi, namun tetap akan mengkaji secara mendalam.
-
Partai NasDem, melalui Rifqinizamy Karsayuda, mengkritik gagasan presiden menunjuk langsung gubernur karena dianggap berpotensi inkonstitusional. Namun Rifqi menyarankan kompromi: presiden mengusulkan calon, DPRD memilih.
-
Golkar, lewat Zulfikar Arse Sadikin, menolak mentah-mentah. “Itu ide usang dan bertentangan dengan semangat demokrasi pasca-reformasi,” tegasnya.
-
PDIP juga menolak. Komarudin Watubun menyebut wacana pilkada oleh DPRD sebagai kemunduran demokrasi. Namun, Ketua DPR Puan Maharani lebih diplomatis, menyebut ini sebagai wacana yang butuh diskusi lintas partai.
📚 Sejarah Panas UU Pilkada
Isu ini bukan baru. Pada 2014, UU Pilkada sempat diubah menjadi pemilihan oleh DPRD oleh koalisi Prabowo. Namun Presiden SBY saat itu menerbitkan Perppu yang membatalkan perubahan tersebut, dan mempertahankan pilkada langsung.
📌 Benarkah Pilkada Langsung Mahal?
Pakar hukum tata negara Titi Anggraini menyebut bahwa pilkada oleh DPRD tidak menjamin lebih murah. Justru, era sebelum 2004 dikenal sebagai “masa kelam” dengan praktik suap dan jual beli suara di DPRD.
“Masalahnya bukan di cara memilih, tapi di praktik politik uang yang belum diberantas,” kata Titi.
Sementara pengamat politik Hendri Satrio menilai pernyataan Cak Imin lebih merupakan manuver politik untuk menyenangkan Presiden Prabowo, bukan niat serius mengubah sistem.
🔎 Indotrans Insight:
Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD membuka pertanyaan mendalam: apakah efisiensi lebih penting dari demokrasi?
Isu biaya tinggi dalam pilkada langsung memang riil. Tapi akar persoalan sering kali bukan pada sistem pemilihan, melainkan pada budaya politik transaksional.
Jika pemilihan oleh DPRD justru kembali membuka pintu bagi elitisme dan korupsi, maka publik hanya akan mendapatkan demokrasi semu.
Di sisi lain, ketegangan antara efisiensi pemerintahan dan partisipasi rakyat menunjukkan bahwa Indonesia belum menemukan keseimbangan ideal dalam desain demokrasi lokal. Pilkada langsung memang tidak sempurna, tapi apakah kembali ke model lama jawabannya?
Pertanyaan besar tetap sama: apakah perubahan ini sungguh demi rakyat atau hanya demi elite?
(S.S)
Sumber: Tempo.co