Geger! Buku Sejarah Indonesia Diduga “Dipoles”, Pengamat Sebut Amnesia Nasional di Era Prabowo

Jakarta, Indotrans.web.id – Polemik besar muncul setelah pemerintah menunda penerbitan buku sejarah nasional terbaru. Rencana peluncuran yang seharusnya bertepatan dengan 17 Agustus itu ditunda hingga November.

Para sejarawan dan aktivis menilai proyek ini berisiko mengaburkan tragedi kelam bangsa. Kritik keras pun bermunculan. Banyak yang menyebut langkah ini sebagai bentuk “amnesia sejarah”.


Rencana Penerbitan Buku Sejarah

Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya mengumumkan penerbitan 10 jilid sejarah resmi Indonesia. Menurutnya, buku tersebut akan menghapus bias kolonial, menghadirkan riset baru, serta menumbuhkan rasa bangga nasional.

Meskipun begitu, sejumlah pengamat menilai buku ini justru berbahaya. Draft awal disebut melewatkan peristiwa penting. Tragedi 1965–1966, penculikan aktivis 1998, hingga kerusuhan etnis Tionghoa tidak dijelaskan secara utuh.


Nama Prabowo Ikut Disebut

Kontroversi ini makin memanas karena menyentuh nama Presiden Prabowo Subianto. Ia diberhentikan dari militer tahun 1998 setelah dituduh terlibat penculikan aktivis pro-demokrasi. Namun, Prabowo berulang kali membantah tuduhan itu.

Selain itu, beberapa pengamat khawatir narasi baru ini sengaja dibuat untuk memperkuat legitimasi politik. Akibatnya, banyak pihak menuding revisi sejarah ini penuh bias.


Kritik dari Sejarawan dan Aktivis

Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung dan aktivis HAM, menegaskan bahwa sejarah tidak bisa ditulis hanya dengan nada positif. “Bagaimana mungkin tragedi besar bisa dipoles?” katanya.

Sementara itu, Ita Fatia Nadia, aktivis perempuan, menyebut revisi buku ini sebagai bentuk “pemutihan” sejarah. Ia menilai upaya tersebut berbahaya bagi generasi muda yang berhak tahu kebenaran.

Di sisi lain, Bonnie Triyana, sejarawan sekaligus anggota DPR oposisi, menuding proyek ini tidak transparan dan sarat bias politik. Menurutnya, metodologi penulisan juga sangat lemah.


Aksi Simbolis Anak Muda

Di tengah polemik buku sejarah, muncul fenomena unik dari kalangan anak muda. Mereka tidak hanya mengibarkan Merah Putih saat kemerdekaan, tetapi juga bendera bajak laut One Piece (Jolly Roger).

Aksi ini dianggap sebagai simbol protes terhadap kemunduran demokrasi. Presiden Prabowo menanggapinya santai selama bendera itu tidak lebih tinggi dari Merah Putih. Namun, DPR dan kepolisian menilai aksi ini sebagai bentuk penghinaan.


Dampak Terhadap Demokrasi

Menurut Dominique Nicky Fahrizal dari CSIS, aksi anak muda ini menunjukkan keresahan mendalam. “Mereka menemukan cara kreatif untuk mengkritik politik. Sayangnya, demokrasi kita semakin mundur,” ujarnya.

Oleh karena itu, para pengamat memperingatkan bahwa revisi sejarah berisiko membawa Indonesia kembali ke pola otoritarian ala Orde Baru.

(S.S/RED)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *